Rabu, 03 Juli 2013

Kompetisi di Indonesia, Sudah Saatnya Memakai Sistem Premier Regional League?

Sebagian besar pecinta sepakbola di tanah air pasti sudah frustrasi melihat kekacauan sepakbola dalam negeri sepanjang dua tahun terakhir ini. Ribut dari hari ke hari tanpa henti. Seakan-akan sepakbola ini punya saldo tabungan masalah yang sangat banyak, sehingga bunga-nya datang tiap hari.

Sebagian pelatih dan pemain bingung apakah tim mereka bisa menuntaskan kompetisi atau tidak. Belum lagi kebingungan apakah gaji mereka akan dibayar sesuai dengan kontrak, atau menderita karena pengurus meleset dari janjinya.



Tetapi cukup banyak sebenarnya pengurus yang baik dan sangat peduli kepada pemain dan pelatih. Hanya saja, mereka sering kali dikecewakan oleh jadwal kompetisi yang tidak jelas, kompetisi yang sering ditunda dan mundur sampai beberapa bulan. Itu jelas mengacaukan persiapan tim, terutama rancangan pembiayaan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.

Salah satu masalah laten yang muncul dalam satu dekade terakhir di kompetisi sepakbola tanah air adalah faktor keamanan. Faktor satu ini seringkali jadi penghambat lancarnya kompetisi. Jadwal kompetisi bisa ditunda, di-reschedule, atau diundur hanya karena alasan-alasan keamanan yang lebih banyak ditentukan oleh situasi politik --misalnya: Pilkada.

Selama 30 tahun saya berkecimpung dalam sepakbola Indonesia, tidak pernah saya dengar ada kekacauan di stadion gara-gara pertandingannya berbarengan dengan jadwal kampanye Pilkada. Kalau pas hari Pemilu atau Pilkada, wajar memang tenaga keamanan harus dialihkan untuk memantau, menjaga dan menertibkan masyarakat yg menggunakan hak pilihnya. Tetapi itu hanya 48 jam, bukan hitungan minggu apalagi berbulan-bulan.

Untuk saya, hanya ada satu alasan untuk meliburkan kompetisi: bulan suci Ramadhan. Itu jelas sangat wajar dan sebaiknya memang tidak usah diutak-atik. Sepakbola tidak lebih penting dari upaya kita bersama menghormati dan menghargai keyakinan dan kepercayaan masyarakat.

Tetapi itu tak seharusnya membuat jadwal kompetisi menjadi tidak jelas. Kalau mau, sebenarnya kalender kompetisi bisa dan memang harus menyesuaikan. Setiap tahun kompetisi nasional harus dimulai 6 minggu sesudah lebaran dan selesai paling lambat 2 minggu sebelum bulan Ramadhan tahun berikutnya. Dan dengan itu, kompetisi bisa diselesaikan dalam 9 bulan, seperti yang terjadi di negara-negara lain. Dan tidak ada alasan apapun untuk kompetisi ditunda selama 9 bulan itu.

Jika ada ada keperluan atau agenda tim nasional, boleh saja dari jauh hari kompetisi bisa menyesuaikan. Akan tetapi, seharusnya itu disesuaikan sejak awal. Toh, di setiap tahunnya FIFA atau AFC memang selalu merilis jadwal pertandingan internasional. Baik FIFA atau AFC punya kalender pertandingan tim nasional yang tertata dengan baik, baik itu jadwal kompetisi resmi [penyisihan Piala Dunia, Piala Asia, Olimpiade, dll] atau kalender internasional untuk friendly game. Kenapa itu tidak dimanfaatkan sekaligus diantisipasi sejak awal?

Sewaktu saya masih melatih Indonesia Muda (IM) di kompetisi Galatama [1981-1983], saya ingat ada momen di mana tiga pemain saya terpilih untuk memperkuat tim nasional guna berangkat ke Korea. Ketiga pemain yang dipanggil itu adalah para pemain inti saya, tapi tidak pernah saya merengek-rengek untuk meminta penjadwalan ulang pertandingan tim saya. Saya masih ingat, pertandingan antara Indonesia Muda melawan Tidar Sakti di Magelang tetap berjalan seperti yang sudah dijadwalkan.

Saya tidak punya persoalan dengan pemanggilan itu karena jadwal tim nasional memang sudah dirilis jauh-jauh hari dan saya pun sejak awal sudah mempersiapkan tim guna menghadapi segala kemungkinan. Saya sudah punya tiga pemain pengganti yang sudah saya siapkan jauh-jauh hari. Jadwal pertandingan pun berjalan tetap sesuai rencana dan semuanya berjalan lancar. Memang kompetisi Galatama saat itu jauh lebih profesional ketimbang saat ini.

Sekarang sudah waktunya untuk mengubah total sistem kompetisi di Indonesia. Kita harus membuat sistem Liga Wilayah atau Regional League. Ada Liga Sumatera, Liga Jawa wilayah Barat, Tengah dan Timur, Liga Sulawesi, Liga Kalimatan, Liga Nusa Tenggara/Bali/Maluku (satu Liga), sampai Liga Papua. Masing-masing liga akan melahirkan Championship Shield masing-masing. Nah, juara liga di masing-masing wilayah itu ditarungkan dalam "Champion of Champions Supe" di stadion GBK.

Atau, jika sistem 8 Besar dirasa terlalu rentan dipermainkan, tidak ada salahnya 8 tim juara liga itu juga ditarungkan kembali dalam sistem kompetisi penuh. Dengan sistem Regional League ini, tidak ada lagi sistem "Home Tournament". Sudah bukan rahasia lagi, negara ini kalau sistem "Home Tournament" cenderung selalu menguntungkan tuan rumah.

Kalau setiap wilayah punya 16 klub, berarti dalam 9 bulan mereka bisa main 30 kali dengan jarak antarpertandingan seminggu. Satu pekan satu laga. Itu memberikan waktu cukup untuk istirahat di antara pertandingan, dan bukan menggeber jadwal pertandingan seperti sekarang. Pemain bukan robot!

Apalagi perjalanan di setiap wilayah itu tidak terlalu jauh. Sistem ini jauh sekali lebih efisien secara finansial. Kasihan seperti sekarang kalau ada tim dari Blitar harus main di Fak Fak atau Tual dan sebaliknya. Biaya transportasi dan lain-lainnya sangat tinggi. Karena itu, tidak heran, ada banyak pertandingan menjadi Walk Over (WO) untuk tuan rumah.

Dengan kondisi keuangan mayoritas klub-klub seperti sekarang, kompetisi penuh yang melibatkan tim dari Aceh sampai Papua dalam satu wilayah yang sama itu sangat memberatkan. Jika Persiwa Wamena mesti melawat ke Langsa, duit ratusan juta mesti disiapkan.

Ingat, jarak dari Sabang sampai Merauke itu lebih panjang daripada jarak London-Istanbul. Jarak yang mesti ditempuh oleh Arsenal jika hendak melawat ke Besiktas di Liga Champions [misalnya] itu lebih pendek ketimbang jarak yang mesti ditempuh Persiraja jika hendak melawat ke Persiwon Wondama. Itu pun dipersulit dengan tidak adanya direct-flight, dan harus berganti-ganti pesawat beberapa kali, belum lagi transit yang tentu membutuhkan biaya tersendiri. Sementara di Eropa, infrastuktur transportasi sudah sangat memudahkan.

Kemudian semua Regional League itu punya divisi satu sebagai "Feeder League" dan bisa dibagi dua di setiap wilayah secara geografis. Dua klub terbaik promosi ke Regional Premier League menganti dua klub yang kena degradasi. Selanjutnya, semua klub di Regional Premier maupun Division One Regional League wajib memiliki tim U-21 yang harus ikut kompetisi U-21 di liga masing-masing supaya selalu ada pembinaan untuk pemain muda. Sekali lagi, dengan sistem Regional League ini, anggaran untuk menggelar pertandingan Liga U-21 pun jadi lebih ringan, karena semuanya diselenggarakan di wilayah yang tidak terlalu berjauhan.

Bagaimana? Ada yang setuju?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar