Para cendekia bola sering menggunakan istilah "bola itu bulat" untuk menggambarkan segala kemungkinan bisa terjadi ketika kita berurusan dengan sepakbola.
Namun, terlepas dari kemungkinan yang terjadi di lapangan hijau, tetap kaki-kaki para pemain, strategi sang pelatih dan dukungan lain dalam bentuk support para pecintanya ikut menentukan ke mana bola akan bergulir; akankah menuju gawang kesebelasan lawan, merobek jala gawang sendiri atau bahkan tidak bergerak sama sekali karena tidak ada yang memainkannya.
Kisruh persepakbolaan di tanah air sudah sampai pada titik di mana wajah Indonesia dipertaruhkan di mata dunia, akankah menjadi buruk atau tambah tercoreng. Drama sepakbola yang (semestinya) dipertontonkan di lapangan di antara sorak-sorai atau jerit-tangis histeris para pecintanya malah terjadi di belakang meja.
Drama-drama kisruh sudah menyandera kaki-kaki pemain, bola pun berhenti bergulir dan kesebelasan nyaris tidak ada bahkan ketika Merah-Putih memanggil untuk dibela. Banyak waktu sudah terbuang, percuma.
Pembentukan tim nasional untuk laga Pra Piala Asia 2015 kurang lebih sebulan yang lalu, sudah memakan begitu banyak energi. Keberhasilan membentuk tim baru awal dari perjuangan panjang. Tarik ulur dan adu kata yang menjadi hiasan media setiap hari sungguh bukan cerita yang menggugah semangat solidaritas timnas dan kecintaan publik akan tim yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka.
Yang terbaru adalah gagalnya Steve Bonsapia bergabung dengan tim nasional dalam laga uji coba melawan Yordania ‘hanya’ karena paspor yang masih ditahan manajemen Persipura, setelah sebelumnya gelandang Persipura ini dengan lantang memutuskan untuk tidak mengindahkan "ancaman" manajemen klub.
Apa yang dialami Bonsapia hanya satu dari sekian banyak cerita dari pesepakbola yang telah dan akan kita dengar kalau kisruh tidak mereda dan diselesaikan. Bahwa para pemain ISL dan IPL harus diikutkan ke dalam skuat nasional sebenarnya bukan permintaan yang berlebihan dan bukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh PSSI yang sesuai dengan peran dan tugasnya merupakan lembaga yang berwenang untuk pembentukan tim nasional. Persoalan ego dan keangkuhan -- serta kepentingan-kepentingan masing-masing kubu baik politik dan rupiah -- bisa dibicarakan dan seharusnya dapat dicari jalan tengah. Terlepas dari semua persoalan di atas ada sesuatu yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa persis seperti cita-cita pendiri PSSI (alm) Soeratin Sosrosoegondo.
Hal-hal sederhana (dan berimplikasi besar sebenarnya) misalnya cara-cara lama seperti pemanggilan pemain melalui sura kabar dan bukan surat resmi kepada klub atau pemain harus mulai ditinggalkan. Ketika kita menuntut pemain sepakbola supaya profesional, empat jari kita menunjuk bagaimana kita sendiri tidak profesional dalam memperlakukan mereka.
Ancaman sanksi yang dikeluarkan oleh klub pun merupakan bentuk arogansi yang seharusnya bisa kita redakan dengan jaminan bahwa bergabung dengan skuat nasional adalah untuk mengharumkan nama bangsa, dan bukannya akhir karier bagi seorang pemain bola di Indonesia.
Indonesia tentu bukan satu-satunya negara di dunia ini yang memiliki periode-periode hitam dalam sejarah sepakbola. Kita pun pernah memiliki masa jaya dan bermarwah sebagai negara dengan pemuda-pemuda yang tangkas dan tangguh di lapangan hijau. Mengenang dan mengungkit sejarah saja sepertinya tidak cukup sepertinya membangkitkan rasa kebangsaan para pemimpin klub dan orang-orang berpengaruh di belakang layar. Sungguh saatnya untuk malu dan berubah
Suka atau tidak suka, pertandingan melawan Irak di Doha, Qatar, pada Rabu (6/2) besok akan sangat berat bagi timnas dengan waktu persiapan yang relatif singkat dan terbebani secara psikologis karena kisruh "bapak-bapak" mereka di kampung halaman dan di Jakarta yang mereka pikul ketika meninggalkan tanah air.
Dan Irak si "Singa dari Mesopotamia" ini hanya satu dari lawan berat lainnya karena masih ada Arab Saudi dan China di Grup C.
Irak pun memiliki masa kegelapan dalam sejarah sepak bola. Di bawah kepemimpinan putra Saddam Hussein, Uday Hussein, tekanan-tekanan luar biasa dialami oleh tim nasional mereka. Penegakan disiplin dilakukan sangat ekstrim sampai ancaman-ancaman fisik seperti pemenjaraan dan penyiksaan. Karena situasi politik global nasional skuat negara kaya minyak ini dilarang bermain di arena Asian Games dan turnamen internasional yang berujung pada terpuruknya ranking Irak di penilaian FIFA.
Sejarah sepakbola Irak menjadi contoh bagaimana sport and state (negara dan olah raga) -- atau lebih tepatnya politik dan olahraga -- tidak bisa dicampuradukkan. Kebangkitan Irak ditandai dengan kemenangan satu gol di final Piala Asia 2007 melawan Arab Saudi di Jakarta (ya, di Jakarta) membuktikan ada titik terang bagi semua kegelapan yang terjadi di belakang.
Jika kita berkaca pada mereka, dalam kondisi yang terpecah belah oleh konflik bersenjata, latihan secara klandestin bukan di stadion yang megah dan tekanan internasional terhadap bangsa, Irak menunjukkan tidak ada satupun yang tidak bisa diselesaikan. Dan Irak menyelesaikan dengan cantik. Bukan persoalan tim nasional namun semua ini (sepakbola) adalah soal manusia, seperti kata seorang pelatih berkebangsaan Brasil, Jorvan Vieira
Meminjam sepenggal catatan "Kesebelasan Para Penyair" dari buku milik Romo Sindhunata SJ, Air Mata Bola: "Tetapi tidakkah bola bukan hanya hiburan? Tidakkah di dalam bola kita juga dapat melihat tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad, dan keberanian untuk meraih kemenangan, kerja sama dan ketergantungan manusia satu dengan lainnya. Siapa tahu, bola justru dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk mengenal diri yang sesungguhnya, lalu memberanikan diri untuk meraih cita-cita yang seharusnya kita punya?"
Para pecinta sepakbola tanah air dan para cendekia bola yang saya yakin memiliki harapan yang sama dengan saya, berharap titik terang akan datang. Saya ingin melemparkan kembali pertanyaan di atas kepada para pembuat keputusan di manajemen klub sepakbola dan otoritas sepakbola nasional, pelajaran apa yang bisa kita dapat dengan mengaca pada sepakbola kita sekarang ini?
Dan sesungguhnya laba rugi menjadi tidak relevan (baca: memalukan) ketika kita menempatkan olahraga yang digandrungi jutaan anak bangsa ini dalam konteks idealisme Soeratin dan teman-temannya.
Sudah saatnya kita memiliki kebanggaan seperti yang ditunjukkan tim nasional Irak ketika membobol gawang Arab Saudi di Stadion Utama Gelora Bung Karno beberapa tahun silam. Kebanggaan bukan karena kemenangan melawan musuh, melainkan kemenangan melawan kepentingan-kepentingan dan ego yang menyandera akal sehat serta rasa kebangsaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar