Selasa, 19 Maret 2013

Uncle Choo dan Latihan Fisik Timnas Era 1950-an


Pada suatu hari di bulan Maret 2013, di lapangan tak jauh dari Stadion Gelora Bung Karno ….

Sejumlah pemain yang dipanggil Badan Tim Nasional mengeluhkan latihan fisik yang diberikan oleh Luis Manuel Blanco. Dengan alasan sudah terlalu letih mengikuti kompetisi ISL dan baru sampai di Jakarta, Hamkah Hamzah dan beberapa pemain lain meninggalkan sesi latihan.



Mereka kemudian menyaksikan di sudut lain di lapangan, para pemain lain tetap asyik melahap menu latihan. Andik Vermansyah, Sergio van Dijk, Irfan Bachdim dan lain-lain, tetap tekun berlatih.

Pada suatu hari di bulan Maret tahun 1953, di pinggir Stadion Ikada ...

Orangnya gemuk, kulitnya hitam dan umurnya sudah cukup tua: 41 tahun. Kendati begitu, tenaga dan suaranya masih kuat, Di tepi lapangan tak henti-henti ia berteriak memaki-maki para pemain yang tidak menurut perintahnya. Terlebih kepada pemain-pemain yang senang melakukan gerakan tipuan, pria tua itu pasti akan marah besar dan tak berhenti mengomel.

Namanya Choo Seng Que. Dia pelatih timnas Indonesia pertama sejak tahun 1951. Orang Singapura satu ini punya pengalaman 28 tahun di dunia sepakbola. Kedatangannya ke Indonesia tak lepas dari peran serta salah seorang pengusaha bernama Tony Wen, yang membayar gajinya selama melatih timnas.

Kekalahan telak 0-3 dari India di perempatfinal Asian Games 1951 menjadi luka yang sangat menyakitkan bagi lelaki yang akrab disapa "Uncle Choo" ini. Bagaimana tidak, ia diminta mempersiapkan timnas di saat kompetisi sepakbola PSSI belum berjalan. Kompetisi 1951 sendiri baru berjalan bulan Agustus, sedangkan Asian Games itu berlangsung Maret.

Karenanya, setelah mendapatkan pengakuan FIFA di tahun 1952, guna mempersiapkan timnas yang tangguh di tahun 1953, Uncle Choo kembali menyeleksi dengan ketat sekaligus melakukan training camp kepada para pemain sebelum timnas melakukan lawatan ujicoba, 20 hari keliling tiga negara di Filipina, Hongkong dan Thailand.

Pemain Bintang Enggan Bergabung

Seluruh pemain terbaik di Indonesia dipanggi Choo untuk secepatnya merapat ke Jakarta. Mereka direncanakan mengikuti pemusatan latihan timnas kira-kira sekitar 2 minggu lamanya.

Hampir semua pemain penting Indonesia saat itu dipanggil. Sayangnya, beberapa pemain langganan timnas seperti Aang Witarsa (Persib), Asqua, Sian Lion, Tiong Ho Da (Persebaya), Chris Ong dan Sugiono (Persija) serta Sunar (PSM Makassar), tak terlihat batang hidungnya. Mereka ternyata enggan mengikuti pemusatan latihan.

Tapi Choo bergeming. Kekurangan para pemain inti itu tak mempengaruhi jalannya program latihan karena ternyata pemain pengganti sudah siap mengisi posisi yang ditinggalkan pemain "nakal" tersebut. Bahkan terlihat beberapa pemain yang tak dipanggil oleh Choo ikut menggabungkan diri atas inisiatif pribadi. Sebut saja Walandouw dan Sudjaja dari Surabaya. Mereka dikirim dengan biaya daerahnya sendiri agar kemudian hari dapat memberikan metode seperti latihan timnas di tempatnya masing-masing.

Fasilitas Terbatas tapi Memadai

Pemusatan latihan dipilih di Stadion Ikada. Semua hal yang dilakukan baik itu latihan, menginap dan makan semuanya dilakukan di sana. Fasilitas serba terbatas. Pasalnya, mau tidak mau, para pemain harus tidur di ruang ganti pakaian.

Ketua PSSI kala itu, Maladi, bahkan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang diterima pemain.

"Ruangan itu dimaksudkan hanya untuk ganti ruang pakaian, jadi tak sepantasnya dijadikan tempat tidur," katanya.


Namun sebenarnya, kondisi sarana dan pra-sarana di Stadion Ikada tidak buruk-buruk amat. Sejumlah fasilitas ternyata memiliki sarana yang cukup memuaskan, hanya saja memang kamar-kamarnya terlalu kecil dan sering kali kekurangan air. Soal makanan? Jangan tanya itu, semuanya terjamin enak, bergizi dan bervitamin. Untuk soal mengolah makanan untuk pemain diserahkan kepada Nyonya Sukamto.

Keletihan usai berlatih selalu diluapkan secara rakus dengan makan masakan yang dihidangkan di atas meja. Kelezatan masakan yang ada membuat para pemain jarang makan lagi di luar tempat pemusatan latihan.

Kebaikan PSSI lainnya adalah, tiap satu pemain diberi fasilitas mencuci dan menyetrika pakaian secara gratis. Diberikan pula satu tempat tidur dengan satu kelambu dan sprei serta sarung bantal berwarna putih. Tak lupa tiap orang mendapatkan uang saku Rp 10/hari.

Soal kesehatan? Tiap hari kesehatan pemain pun dipantau oleh dokter. Pendek kata, umumnya memuaskan.

Training Camp Semua Terkait Bola

Fasilitas nyaman yang didapat berbanding terbalik dengan program latihan yang diterima pemain. Tak ada kata nyaman, tak ada kata manja, semua pemain dipaksa untuk habis-habisan dan berdarah-darah agar terus konsisten dalam mengikuti program-program yang disusun Uncle Choo.

Jam 5.30 semua pemain harus bangun, dilanjut dengan latihan fisik hingga jam 07.00. Setelah diberi kesempatan setengah jam untuk sarapan pagi, jam 07.30 semua harus berkumpul lagi untuk berlatih hingga jam 09.00.
Latihan Fisik: Berat di Awal, Nikmat di Akhir

Di hari-hari pertama, sebagaimana para junior mereka berpuluh tahun kemudian macam Hamka Hamzah dkk., para pemain terlihat sangat keberatan dengan pola latihan yang diberikan Choo. Yang terberat tentunya adalah latihan fisik, yang memang jarang dilakukan oleh para pemain timnas di zamannya. Bagi para pemain, latihan fisik tidak seberapa penting namun bagi Choo fisik adalah segalanya.

"Kelesuan dan kekakuan badan setelah melakukan gerak badan di pagi hari memperlihatkan latihan fisik sangat jarang dilakukan pemain kita," ucap Choo, seperti dikutip di Majalah Olahraga edisi Maret 1953.

Dan betul saja, baru dua hari pemusatan latihan, "korban" metode latihan Choo sudah sedemikian banyak. Penyerang PSM Makassar, Ramang, sudah terlihat berjalan pincang kakinya. Muskita jatuh sakit dan mendapatkan perawatan dokter. Latihan berat, seperti menyundul bola yang digantung ratusan kali, mendribel bola dengan tempo yang cepat, dll., dicermati oleh Choo dengan penuh perhatian.

Akan tetapi, meskipun terlihat berat, para pemain berlatih sungguh-sungguh. Para pemain sadar betul bahwa latihan dengan waktu yang sangat singkat ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Mereka juga tahu, bahwa walaupun pemusatan latihan hanya 2 minggu, tetapi dengan kesungguhan seperti itu, latihan dari Choo akan memberikan hasil yang memuaskan.

Dan itu tergambar dalam lawatan tim nasional ke tiga negara. Dari 9 kali pertandingan, timnas hanya kalah satu kali, itu pun dari Korea Selatan dengan skor 3-1. Sisa 8 pertandingan lainnya yang notabene melawan klub-klub lokal berujung kepada kemenangan. Tak tanggung-tanggung, dari 9 pertandingan itu, PSSI berhasil mencetak 46 gol dan hanya kebobolan 9 gol.

Persoalan Mentalitas

Apakah Ramang, dkk., saat itu manusia super? Sama sekali bukan. Penyerang Persib Bandung dan abang dari legenda Persib Max Timisela yaitu Freddy Timesela, saat sangat kesal dengan letihnya latihan, sempat mengeluh: "Kalau terlalu berat, saya mau pulang aja!"

Tetapi keluhan macam yang diutarakan Freddy itu selalu diutarakan setelah sesi latihan. Ramang dan rekan-rekannya bukan manusia super. Mereka juga kesal dan mungkin bad mood. Mereka juga berkeluh kesah. Tapi mereka hanya mengeluh saat sesi latihan usai, tidak saat sesi latihan sedang berlangsung. Setelah sesi latihan kelar, terutama dalam sesi-sesi indoor [baik saat makan maupun saat membahas taktik], persoalan-persoalan selama latihan dibicarakan secara terbuka dan tidak main belakang.

Cerita macam ini kembali terulang saat tim nasional Indonesia dilatih oleh Anatoly Polosin jelang SEA Games 1991. Para pemain digojlok habis-habisan. Banyak pemain tumbang. Banyak pemain kabur dari pemusatan latihan, tidak terkecuali para pemain senior. Ini memaksa Polosin akhirnya banyak menggunakan pemain muda. Hasilnya: trofi [medali emas] bergengsi terakhir yang pernah Indonesia dapatkan. [Kisah lebih detail tentang periode ini akan dituliskan pada artikel berikutnya -- red.]

Metode latihan adalah bagian dari sport science. Dan sebagaimana science, metode latihan pun tidak pernah stagnan dan terus berkembang. Temuan-temuan baru akan terus bermunculan dan metode latihan pun akan mengikut temuan-temuan baru itu. Tapi apa artinya sport science yang terus berkembang jika mentalitas para pemainnya tak ikut berkembang?

Memang benar, Hamka dkk., itu datang ke pemusatan latihan di tengah kompetisi ISL. Tapi kenapa Sergio van Dijk yang juga main di ISL sama sekali tak mengeluh, padahal secara kualitas semua orang akhirnya tahu level Van Dijk seperti apa? Dan kenapa Stefano Lilipally dan Bachdim, yang juga datang di tengah kompetisi, plus harus menempuh jarak jauh karena mereka bermain di luar, juga bisa tetap melahap menu latihan?

Saya teringat apa yang terjadi di Persib Bandung dalam sesi latihan pra-musim 2010 di Cirebon. Saat itu Persib dilatih oleh Daniel Darko yang menerapkan latihan fisik berat. Di hari yang krusial itu, para pemain Persib yang latihan di Stadion Bima Cirebon sangat kepayahan melahap menu latihan. Kalau tidak salah, Munadi sampai kram berkali-kali.

Beberapa jam kemudian, dalam sesi makan siang, Markus Harison datang terlambat. Darko tak senang dan marah. Markus tak terima dan membanting gelas serta piring berisi makanan yang sedang dipegangnya. Efeknya: para pemain memboikot dan menolak dilatih Darko. Cerita selanjutnya sama, nyaris seperti nasib Blanco: karir kepelatihan Daniel Darko di Persib pun usai jauh sebelum kompetisi dimulai.

Insiden itu terjadi saat pra-musim. Jadi alasan Hamka, dkk. sekarang tak bisa digunakan oleh Markus, dkk. di Persib saat itu. Tapi toh pemogokan tetap terjadi, dengan alasan yang hampir persis. Saat itu, Persib diperkuat para pemain yang masih berstatus sebagai pemain tim nasional, seperti Markus, Eka Ramdani, Maman, Hariono sampai Nova Arianto.

Kritik dengan mudah diajukan pada reputasi, kredibilitas dan kompetensi Blanco atau Daniel Darko. Tapi, percayalah, selalu tersedia alasan bagi mereka yang memang gigih mencari dalih.

Jam 11.00 – 12.00 pemain diberi pengarahan soal latihan teori oleh Choo. Di sore hari, jam 16.00-18.00, latihan kerja sama tim menjadi agenda utama. Tak berhenti di situ. Usai diberi kesempatan istirahat dan makan malam, semua pemain wajib berkumpul pukul 21.00 untuk diberi pemahaman soal latihan mental. Baru jam 22.00 semua pemain bisa kembali ke tempat tidur.

Demikianlah sehari-hari yang dilakukan mereka, tak ada lagi pekerjaan selain bermain sepakbola dan berdiskusi atau berbicara tentangnya. Di tempat pemusatan latihan dilarang keras merokok, minum es, kopi dan minuman keras. Jika ketahuan ancamannya akan langsung diusir.

Dengan adanya disiplin keras maka dengan mudah Choo dapat mengetahui perilaku dan pribadi tiap-tiap pemainnya. Bagi yang sering membangkang dan tak tahan banting dengan mudah dicoret Choo dari daftar pemain timnas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar